Aljazair dan wajah buruk demokrasi
>> Senin, 23 Februari 2009
Aljazair, negeri yang terletak di kawasan Afrika Utara ini, merupakan salah satu negeri Islam yang penuh konflik. Perjuangan umat Islam di Afrika hingga saat ini masih belum berhenti. Negeri ini juga menjadi contoh bagaimana sistem 'demokrasi' menampakkan kebusukannya. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai sistem terbaik ternyata hanya omong kosong belaka. Negeri ini merupakan contoh bagaimana rekayasa kekerasan terus berlangsung hingga kini untuk menyudutkan perjuangan umat Islam. Negeri ini juga menjadi saksi, bagaimana wajah ketakutan bangsa Barat melihat kemenangan perjuangan Islam.
Aljazair, yang sering pula disebut dengan nama Al-Jumhuriya Al-Jaza'iriya ad-Dimuqratiya asy-Sya'biya, memakai bahasa Arab sebagai bahasa resmi, di samping bahasa Prancis dialek Barbar.
Secara historis, Aljazair memiliki sejarah yang cukup panjang; mengalami pasang surut peradaban. Sejak 40 SM, daerah ini telah diperintah oleh Bangsa Romawi; tahun 429 – 534 dikuasai oleh Vandals; dan tahun 534 – 690 di bawah kekuasaan Bizantium (Romawi Timur) yang beragama Nasrani.
Islam masuk ke negeri ini pada akhir abad ke-7 M, pada saat Daulah Khilafah Bani Umayah sekitar abad 682 M. Diawali dari Tunisia, tentara Islam terus berdakwah dan berjihad, bergerak ke arah Barat. Mereka membebaskan sejumlah bangsa Barbar seperti Aljazair, Maroko, Libya, Maroko wilayah Magribi dari penjajahan bangsa Romawi, dan hidup dalam naungan Islam yang damai.
Bersamaan dengan kemunduran Dunia Islam, penjajah Prancis masuk ke wilayah ini. Genderang jihad pun diserukan untuk mengusir penjajah. Perlawanan demi perlawanan terus berlanjut sampai kemudia Prancis harus mengakui kemerdekaan Aljazair pada tahun 1962. Namun, seperti pada negeri-negeri Islam lain, kemerdekaan ini menjadi semu, karena kemudian yang berkuasa di Aljazair adalah agen-agen Prancis sendiri. Aljazair kemudian menjadi negara sekuler dengan sistem republik yang dipimpin oleh boneka dan kader-kader binaan Prancis.
Dengan menjadi negara sekuler, Aljazair menjadi negara yang sangat bergantung pada Prancis; terjerat dalam sistem sekuler yang hanya menguntungkan negara asing dan para penguasa sekuler.
Kondisi menyedihkan akibat sistem sekuler ini mendorong munculnya gerakan-gerakan Islam yang menyerukan kembali ke jalan Islam. Sistem sekuler dianggap telah gagal dan jalan yang menyelamatkan hanyalah Islam. “Islam adalah Solusi.” demikian opini dibangun oleh gerakan-gerakan Islam di Aljazair.
BURUKNYA DEMOKRASI
Bersamaan dengan perubahan konstelasi internasional, setelah runtuhnya Rusia, terjadi pula perubahan politik di Aljazair. Pemerintah Benjedid akhir tahun 1980-an menjanjikan kebebasan politik untuk menanggapi ketidakpuasan rakyat. Beberapa reformasi politik yang dilakukan oleh Benjedid antara lain referendum nasional, revisi konstitusi pada tahun 1989 yang menghapuskan sosialisme Aljazair, mengakhiri monopoli FLN sebagai partai tunggal, dan menawarkan sistem multipartai.
Reformasi politik ini dianggap peluang oleh beberapa gerakan Islam, diantaranya adalah FIS yang kemudian berhasil menjadi pemenang pada pemilu nasional putaran pertama. Kemenangan FIS ini tentu saja disambut sukacita oleh banyak kaum Muslim, terutama yang selama ini percaya pada jalan demokrasi untuk meraih kekuasaan.
Disisi lain, dunia barat menganggap kemenangan FIS akan mengancam sistem sekuler yang ada. Maka, mereka menuduh FIS telah membajak demokrasi untuk membangun pemerintahan fundalmentalis Islam yang anti demokrasi. Untuk mencegah kemenangan FIS, militer kemudian turut campur tangan, dengan mengambil alih kekuasaan dan menurunkan Presiden Benjedid.
Meskipun FIS menang secara demokratis, bagi Bangsa Barat demokrasi hanya berlaku kalau menguntungkan kepentingan mereka saja. Sebaliknya, kalau sekiranya mengancam, demokrasi harus diberanguskan. Tidak hanya itu, pemerintah otoriter dan diktator akan didukung habis-habisan asalkan bisa mencegah kemenangan atas Islam. Hal ini merupakan bukti nyata kebohongan demokrasi yang dikampanyekan oleh Bangsa Barat. Kebebasan yang diberikan oleh demokrasi tetap memiliki syarat tunggal, yakni tidak menghancurkan sistem demokrasi dan kepentingan Bangsa Barat.
Propaganda Menyerang Islam
Propaganda yang dilakukan oleh Bangsa Barat untuk menyerang gerakan Islam di Aljazair ialah dengan melakukan pembantaian massal yang kemudian ditimpakan kepada kelompok Islam yang mereka tuduh radikal, seperti FIS. Hal ini dimaksudkan supaya muncul rasa benci dan ketakutan terhadap pihak-pihak yang memperjuangkan Islam dengan ideologis-politis bernafaskan Islam.
Penguasa Aljazair berusaha membangun citra negatif terhadap kelompok Islam dengan tuduhan teroris, militan, barbar, dan kejam.
Tuduhan pemerintah itu juga merupakan salah satu propaganda untuk menyudutkan Islam. Pola-pola seperti ini banyak digunakan oleh penguasa sekuler dan barat:melakukan tindakan teror, lalu menuduh kelompok islam, atau membentuk kelompok yang mengatasnamakan Islam, kemudian melakukan teror yang ditimpakan kepada kelompok Islam.
PELAJARAN YANG DAPAT DI AMBIL DARI ALJAZAIR
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan negeri Islam Aljazair ini. Pertama, negeri ini telah menunjukkan kepalsuan sistem demokrasi, yang katanya memberikan kedaulatan kepada suara mayoritas. Sebesar apa pun kebebasan yang diberikan demokrasi tidak akan memberikan peluang bagi Islam yang kaffah, ideologis, dan politis untuk berkuasa. Hal ini didukung oleh negara-negara Barat yang katanya kampiun demokrasi.
Kedua, jalan demokrasi terbukti berdasarkan fakta, tidak bisa digunakan oleh umat Islam dalam perjuangannya. Sebab, bagaimanapun, pihak penguasa status quo tidak akan pernah memberikan kemenangan kepada kelompok Islam.
Solusi untuk menyelesaikan permasalahan demokrasi tidak lain adalah menjadikan hukum dan syariat Islam sebagai ideologi dan sistem kehidupan dengan bergabung dalam negara Khilafah Islam.